Bold97.cf -
Gue sudah lengkap dengan jas hujan,
bahkan celana jeans panjang sudah digulung. Langit sore waktu itu lebih kelabu
dari pasangan LDR (Long Distance Relationship) yang udah kangen karena lama gak
ketemu tapi pas ketemu malah diputusin. Gue melaju melanjutkan perjalanan
sambil senyam-senyum karena kali ini mengalahkan siapnya seorang ojek payung
dalam mengantisipasi terpaan air yang bakal turun dari langit.
Tujuh menit, 15 menit, setengah jam
berlalu. Hujan tak kunjung datang. Gue sedikit manyun, kemudian menepi ke
sebuah halte untuk melepas dan melipat jas hujan yang gue kenakan. Pada saat
gue hendak memasukkan jas hujan yang sudah terlipat rapi ke bawah jok motor,
terdengar dua remaja yang mengeluhkan cuaca hari itu. “Langitnya PHP nih,” ujar
salah satu dari mereka.
“Dem. Gue kegeeran.” Perjalanan sore
itu selanjutnya gue habiskan dengan berpikir. Coba kalau tadi gue nggak
mengharapkan hujan. Coba kalau gue tadi nggak sotoy sama langit. Coba kalau
tadi gue gak dengan cepat menyimpulkan bahwa mendung berarti akan turun hujan.
Hal seperti di atas memang
kedengarannya rada-rada benar. Kita lebih suka menyalahkan keadaan yang memang
nggak pasti, dibanding menyalahkan otak (atau mungkin hati) yang sotoy
menyimpulkan yang pasti terjadi. Misalnya seperti ketika ada orang yang hadir
dalam hidup kamu. Dia datang dengan segala kelengkapannya, mengisi
kekosongan-kekosongan yang kebetulan kamu inginkan, selalu ada buat kamu, dan
kebetulan pula teman-temanmu menyangka kalian sudah jadian. Namun semua fakta
tadi tetap gak bisa buat menyimpulkan bahwa dia pasti suka sama kamu.
Pengharapan itu membebankan.
Ketika kamu berharap, kamu
membebankan suatu hal yang tidak pasti pada hati. Dan tau apa yang terasa kalau
itu tak terjadi? Kecewa hati.
Kadang menyimpulkan seperti tadi
cuma penyangkalan diri aja. Sebenernya kamu yang suka dia, karena deket. Di
sisi lain, kamu juga gak siap menerima fakta kalau perasaan kamu gak berbalas.
Dari situ kamu menyangkal.
Kejadian kayak gini sih biasanya
disebut PHP (Pemberian Harapan Palsu). Nah, coba dipikir lagi. Siapa yang
sebenarnya melakukan PHP? Dia, atau diri kamu sendiri yang memberikan harapan
pada hati dengan menerjemahkan kebaikan adalah harapan? Oke, soal PHP dan
kegeeran mungkin udah banyak dibahas di timeline twitter.
Anggap saja memang benar kamu nggak
kegeeran, dan memang benar dia PHP. Kalo keadaannya seperti itu, emang apa yang
bisa kamu lakukan? Minta kepastian? Atau langsung pergi sekalian? Tanya diri
kamu kalimat ini, “Emang bisa? Emang berani?”
Sebenarnya dengan kamu berdiam diri,
kamu udah mengizinkan dia dan diri kamu sendiri jadi PHP. Pemberi, dan Penikmat
Harapan Palsu.
PHP itu emang jodoh banget sama yang
diem dan gak berani ngambil sikap (entah itu nagih kepastian, atau pergi
sekalian). Semakin kamu diam, semakin betah dia PHP.
Kita abaikan orang yang PHP, karena
apa yang dilakukannya itu emang jahat buat kamu. Tapi yang perlu diperhatikan,
kenapa kamu diem aja dijahatin? Banyak alasan yang dikeluarkan orang yang nggak
mau nagih kepastian. Biasanya alasannya karena cewek, gengsi, malu, takut
disangka kegeeran.
Sering kali, manusialah yang
memperumit masalahnya sendiri.
Tinggal pilih, jadi korban PHP
terus, nagih kepastian, atau pergi sekalian. Jangan salahin dia PHP terus kalo
minta kepastian atau pergi sekalian aja gak berani.
No comments:
Post a Comment